Pemerintah Ingin Arahkan Investasi Masyarakat ke SBN, Apakah Akan Berebut Dana?

Pemerintah berencana mengalihkan minat masyarakat dalam menabung ke instrumen Surat Berharga Negara (SBN), seperti Savings Bond Ritel (SBR).

Langkah ini bertujuan tidak hanya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional, tetapi juga untuk memperluas distribusi kekayaan. SBN menawarkan imbal hasil atau kupon yang lebih tinggi dibandingkan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate), serta dikenakan pajak yang lebih rendah dibandingkan deposito.

“Kami berharap masyarakat semakin mudah beralih ke instrumen ini,” ujar Direktur Surat Utang Negara di Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Deni Ridwan, dalam konferensi pers di Jakarta pada Senin (10/6/2024).

“Karena pemerintah punya visi bagaimana kita shifting dari saving society atau masyarakat menabung menjadi investing society atau masyarakat yang berinvestasi, kenapa? supaya masyarakat punya kesempatan mendapatkan penghasilan yang lebih tinggi dengan berinvestasi di instrumen-instrumen keuangan termasuk obligasi negara,” tegas Deni.

Salah satu surat berharga ritel yang kini baru diterbitkan pemerintah per hari ini ialah SBR013T2 dan SBR013T4 dengan kupon masing-masing sebesar 6,45% untuk tenor 2 tahun dan 6,60% untuk tenor 4 tahun. Jenis kuponnya itu ialah mengambang dengan tingkat kupon minimal (floating with floor).

“Jadi kalau ke depan BI menaikkan lagi tingkat suku bunganya menjadi 6,5% jadi tinggal ditambah aja basis pointnya. Margin ini akan selalu kita jaga supaya investor dapat insentif untuk beli SBR tapi kalau BI menurunkan suku bunga acuannya ini gak akan turun,” ungkap Deni.

Deni mengatakan, dengan penerbitan SBR tersebut pemerintah menargetkan mampu meraup dana sebesar Rp 15-20 triliun, dan mempertahankan tujuan supaya surat berharga negara (SBN) seperti SBR itu mayoritas dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

Meski, SBR nantinya ditujukan terus supaya dapat menyerap banyak dana masyarakat domestik dan mengalihkan sifat masyarakat dari menabung ke investasi, pemerintah memastikan tak khawatir terjadinya crowding out effect atau terserapnya dana masyarakat ke pemerintah sehingga menyebabkan likuditas atau aliran dana kering di perbankan.

Deni mengatakan, ini karena pemerintah sudah menetapkan strategi pembiayaan dengan memberikan ruang bagi investor asing untuk masuk ke pasar surat berharga negara sekitar 15%-20% dari total penerbitan surat berharga negara.

“Crowding out effect itu kan adalah efek di mana pasar keuangan uangnya habis tersedot pemerintah atau pihak publik sehingga private company sulit dapat kredit, jadi cegah crowding out kita kombinasikan penerbitan di dalam dan luar negeri, dan untuk dari luar negerinya antara 15%-20%,” ucap Deni.

Sebagai informasi, dari data total utang pemerintah terbaru yang mencapai Rp 8.338,43 triliun memang mayoritas berasal dari penerbitan SBN sebesar Rp 7.333,11 triliun, sisanya berasal dari pinjaman yang sebesar Rp 1.005,32 triliun.

Untuk SBN, terdiri dari penerbitan berdenominasi rupiah sebesar Rp 5.899,2 triliun, dan berdenominasi valuta asing atau valas Rp 1.433,90 triliun. Adapun pinjaman mayoritas berasal dari pinjaman luar negeri Rp 969,28 triliun, dan pinjaman dalam negeri Rp 36,04 triliun.

Berdasarkan bentuk mata uangnya, utang dalam dolar AS telah sebesar Rp 1.713,26 triliun, euro Rp 388,45 triliun, yen Jepang Rp 270 triliun, dan lainnya Rp 30,92 triliun. Mayoritas dalam bentuk mata uang rupiah sebesar Rp 5.935,42 triliun.

 

 

(Sumber : CNBC Indonesia)

Share this content:

Post Comment